ADHD: Bukan Autis, Apakah Itu?

Oleh: dr. Puspa Maharani

Anak kok nggak bisa diam sih?! Nakal banget”

“ayo dong kak, konsentrasi dong!”

Terkadang celotehan seperti itu terucap dari para ibu yang mungkin kesal melihat perilaku buah hatinya. Tidak bisa diam, berlari ke sana kemari, sulit menyelesaikan satu pekerjaan, hingga terkesan lalai terhadap tugasnya. Bapak, Ibu, bisa jadi itu salah satu gejala ADHD, yuk kita kenali lebih lanjut.

Apa itu ADHD?

ADHD atau Attention-Deficit / Hyperactive Disorder merupakan gangguan perilaku yang dikarakteristikan dengan kegagalan anak untuk memusatkan perhatian atau pengendalian gerak sehingga anak menjadi hiperaktif. Umumnya ADHD dikategorikan sebagai gangguan masa kanak, karena ciri khas perilaku didapat saat di sekolah dan rumah. Diharapkan dengan deteksi sedini mungkin, dapat mengurangi gejala ADHD saat anak beranjak dewasa nanti.

Seperti apa gejalanya?

Sebagian besar ADHD terdeteksi saat anak memasuki usia sekolah, karena pada usia seperti inilah akan terlihat gejala-gejala yang konsisten baik di sekolah maupun di rumah. Adapun gejala-gejala tersebut mencakup gejala kesulitan memusatkan atensi, maupun gejala hiperaktivitas yang dapat mengarah pada impulsivitas.

Gejala Inatensi

1. Kesulitan memusatkan perhatian; anak mudah untuk teralihkan perhatiannya ketika melakukan aktivitas bermain, maupun dalam menyelesaikan pekerjaan sekolah.

2. Tidak mendengarkan; anak sering tampak acuh tak acuh saat sedang diajak berbicara langsung

3. Kesulitan menuntaskan sesuatu; anak sering tidak mengikuti instruksi, tidak dapat mengatur tugasnya sehingga pekerjaan sekolahnya seringkali tidak tuntas. Tidak hanya itu, terkadang anak juga sering kehilangan benda-bendanya yang penting. Hal ini disebabkan anak sering lupa dalam aktivitasnya sehari-hari

Gejala Hiperaktivitas-Impulsivitas

1. Sering gelisah; anak akan sering terlihat gelisah jika diam duduk di kursi. Biasanya anak akan menggeliatkan tangan atau kakinya di kursi

2. Sering meninggalkan tempat duduk; anak akan sering meninggalkan bangku di ruang kelas atau ruang publik dimana ia diharapkan untuk tetap duduk. Anak juga sering berlari di sekeliling ataupun memanjat meskipun di situasi yang tidak sesuai

3. Terkesan berlebihan; anak terkesan “sangat aktif”, berbicara berlebihan atau seolah-olah “dikendalikan baterai yang tidak ada habisnya”

4. Tidak bisa menunggu giliran; tidak dapat mengantre, mengikuti barisan dalam sekolah merupakan contoh tindakan impulsif yang dapat dilakukan anak

5. Sering mengganggu orang lain; perilaku impulsifitas lain adalah sering mengganggu teman sebaya seperti memotong permainan, menarik rambut, maupun mendorong temannya

Sebagai contoh, berikut ilustrasi sebuah kasus

Fadhil adalah anak laki-laki berusia 5 tahun yang sedang menjajaki masa bermain di taman kanak-kanak. Berdasarkan laporan dari gurunya, Fadhil sangatlah aktif bahkan cenderung berlebihan dibanding anak usia sebayanya. Fadhil sangat sulit mematuhi instruksi, terutama jika instruksi itu memintanya untuk duduk tenang. Fadhil sering berlarian sepanjang kelas dan mengganggu teman-temannya. Jika diberitahu gurunya Fadhil cenderung tidak mau mendengarkan. Hal yang sama sebenarnya juga dikeluhkan oleh Ibu Fadhil. Awalnya, Ibu Fadhil mengira jika Fadhil merupakan anak yang sulit diatur dan tidak menghormati orangtuanya. Di rumah Fadhil sering mengacak-acak mainan yang dimilikinya. Terkadang ia memainkan mainannya, yang biasanya tidak bertahan lama sebelum akhirnya ia berpindah aktivitas seperti menonton televisi. Namun, dalam masa perkembangannya Fadhil tidak memiliki gangguan intelegensi maupun kognitif lainnya.

Sepertinya anak saya memiliki gejala seperti di atas, apa yang harus saya lakukan?

Bapak, Ibu, jika anak Anda memiliki gejala-gejala seperti di atas, janganlah panik. Gangguan perilaku seperti ini memiliki banyak faktor penyebab, namun bisa dilakukan terapi untuk meminimalisir gangguan perilaku yang menetap hingga dewasa. Anda dapat membawa anak Anda ke psikiater untuk mendapatkan terapi. Adapun terapi yang dibutuhkan tergantung dari jenis gangguan gejala mana yang lebih dominan, sehingga menentukan apakah anak Anda memerlukan terapi obat ataukah terapi psikososial saja. Namun, terapi psikosisal yang diperlukan tidak hanya mencakup terapi pada anak saja, namun orangtua pun akan diajarkan bagaimana mendidik anak dengan ADHD berikut perencanaan studinya, seperti

1. Cara mendidik; Anda sebagai orangtua diharapkan dapat memberikan penghargaan jika anak Anda melakukan suatu hal yang baik dan dapat memenuhi instruksi

2. Tekhnik manajemen stres; kesabaran dan manajemen stres akan sangat diperlukan dalam menghadapi anak dengan ADHD supaya dapat menghadapi perilaku anak dengan tenang

3. Support group; jangan enggan untung saling sharing dengan orang lain yang memiliki tantangan yang sama.

Apakah anak saya dapat pulih seperti anak normal lainnya?

Jika mendapat terapi atau penanganan yang tepat, anak ADHD dapat mengoptimalkan dirinya dan meminimalisir gejala-gejala yang ada sehingga tidak menetap hingga remaja dan dewasa. Dengan demikian diharapkan interaksi sosial dan daya kembang intelegensi anak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Referensi

1. Tenev A, Simoska SM, Kocarev L, et al. Machine learning approach for classification of ADHD adults. International Journal of Psychophysiology (2013)

2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's comprehensive textbook of psychiatry. 9th edition. Philadelphia :Lippincott Williams & Wilkins (2000)

3. National Institute of Mental Health. Attention-Deficit/Hyperactive Disorder: The Basic. Online: https://www.nimh.nih.gov/health/publications/attention-deficit-hyperactivity-disorder-adhd-the-basics/index.shtml#pub4