Oleh: Aisyah Safitri

Di negara berkembang, isu kesehatan mental menjadi topik yang terkadang masih terabaikan. Tanpa disadari pada saat ini ada ratusan anak menjadi korban dan pelaku kasus bullying. Fenomena bullying di Indonesia mungkin sudah memasuki level yang mengkhawatirkan. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011 hingga 2016 ditemukan sekitar 253 kasus bullying, terdiri dari 122 anak yang menjadi korban dan 131 anak yang menjadi pelaku. Data ini juga tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh oleh Kementerian Sosial. Hingga Juni 2017, Kementerian Sosial telah menerima laporan sebanyak 967 kasus; 117 kasus di antaranya adalah kasus bullying. Kondisi ini bahkan semakin mengkhawatirkan saat mengetahui jika pelaku bullying, baik bullying tradisional atau cyber bullying didominasi oleh anak-anak dan remaja. Berdasarkan data UNICEF pada tahun 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen anak di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyber bullying.

Kasus bullying tidak hanya kita lihat pada banyaknya jumlah korban saja namun kita juga perlu berempati pada kondisi si pelaku. Karena baik korban maupun si pelaku akan dapat mengalami penyimpangan perilaku ke arah negatif jika kondisi mental mereka yang tidak sehat tersebut dibiarkan begitu saja. Seperti yang kita tahu penyimpangan perilaku anak dapat mempengaruhi masa depan mereka yang ditandai dengan menurunnya prestasi belajar, ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan, bahkan yang lebih parah bisa sampai mengidap penyakit mental (gangguan kecemasan maupun depresi) serta yang terburuk adalah tindakan atau perilaku kriminal anak. Kasus bullying merupakan salah satu bentuk kekerasan yang berawal dari kekerasan verbal.

Efek Negatif Kekerasan pada Anak

Korban kekerasan tidak hanya memiliki bekas luka pada tubuhnya, namun juga trauma emosional hingga dapat menyebabkan penurunan fungsi otak. Berikut beberapa efek kekerasan pada anak:

  • Emosi
    Misalnya, anak menjadi lebih sering sedih atau marah, sulit tidur, bermimpi buruk, memiliki rasa percaya diri yang rendah, ingin melukai diri sendiri, atau bahkan keinginan untuk bunuh diri. Mereka juga menjadi sulit berinteraksi dengan orang lain dan cenderung melakukan tindakan yang berbahaya.
  • Penurunan fungsi otak

Efek kekerasan pada anak juga dapat memengaruhi struktur dan perkembangan otak, hingga terjadi penurunan fungsi otak di bagian tertentu. Hal tersebut berpotensi menimbulkan efek jangka panjang, mulai dari penurunan prestasi akademik, hingga gangguan mental pada saat dewasa.

  • Tidak mudah memercayai orang lain

Anak korban kekerasan merasakan pengalaman buruk dalam hal penyalahgunaan rasa percaya dan rasa keamanan. Saat mereka dewasa nanti, mereka akan kesulitan untuk memercayai orang lain.

  • Sulit mempertahankan hubungan pribadi

Pengalaman sebagai korban kekerasan pada anak dapat membuat mereka menjadi sulit memercayai orang lain, mudah cemburu, merasa curiga, atau merasa kesulitan mempertahankan hubungan pribadi untuk jangka waktu yang lama karena rasa takut. Kondisi ini berisiko membuat mereka merasa kesepian. Penelitian menunjukkan, banyak korban kekerasan anak yang mengalami kegagalan dalam membina hubungan dan pernikahan pada saat dewasa.

  • Memiliki risiko gangguan kesehatan yang lebih tinggi

Efek kekerasan pada anak juga dapat memengaruhi kesehatan dan tumbuh kembang anak. Korban kekerasan anak berisiko mengalami gangguan kesehatan yang lebih tinggi, baik secara psikis maupun fisik, pada saat mereka tumbuh dewasa.

Trauma akibat kekerasan pada anak bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami kecenderungan untuk mengonsumsi alkohol berlebih dan menggunakan narkoba. Sebuah penelitian mencatat prevalensi upaya bunuh diri yang cukup tinggi pada orang dewasa yang pernah menjadi korban kekerasan anak. Oleh karena dampak negatif kekerasan pada anak yang sangat banyak, perlindungan pada anak sangatlah diperlukan.

Referensi

  1. Jedd, et al. NCBI. Long-term consequences of childhood maltreatment: Altered amygdala functional connectivity. Development and Psychopathology. 2015. 27(4 0 2), pp. 1577–1589.
  2. United Nations International Children's Fund UNICEF Indonesia (2015).
  3. Kekerasan Terhadap Anak: Kini Saatnya Bertindak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014).
  4. Tingkatkan Kerjasama dan Kewaspadaan Kekerasan pada Anak. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik (2017).
  5. Statistik Gender Tematik - Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia.
  6. How Childhood Abuse Could Impact Your Health. https://www.everydayhealth.com/news/how-childhood-abuse-could-impact-your-health-today/ Diakses pada 10 Desember 2019.
  7. Child Abuse. https://kidshealth.org/en/parents/child-abuse.html Diakses pada 10 Desember 2019.
  8. Child Abuse. https://www.psychologytoday.com/intl/conditions/child-abuse Diakses pada 10 Desember 2019.
  9. How Childhood Abuse Changes the Brain. https://www.verywellmind.com/childhood-abuse-changes-the-brain-2330401 Diakses pada 10 Desember 2019.
  10. Important Facts, Figures and Examples of Child Abuse Cases. https://www.verywellmind.com/child-abuse-cases-and-stories-2633354 Diakses pada 10 Desember 2019.
  11. The Effects of Childhood Trauma. https://www.verywellmind.com/what-are-the-effects-of-childhood-trauma-4147640 Diakses pada 10 Desember 2019.
  12. What Is Emotional Child Abuse? https://www.verywellfamily.com/what-is-emotional-child-abuse-4157502 Diakses pada 10 Desember 2019.
  13. Kasus Ayah Bunuh Bayi, Kekerasan pada Anak di DKI Makin Miris. https://fokus.tempo.co/read/1204133/kasus-ayah-bunuh-bayi-kekerasan-pada-anak-di-dki-makin-miris/full&view=ok Diakses pada 10 Desember 2019.